Berbelanja secara daring (online) tak dimungkiri telah menjadi alternatif praktis untuk memenuhi pasokan kebutuhan harian di masa pandemi. Survei global, membuktikan bahwa milyaran orang yang terdampak pandemi COVID-19, berperan mendorong adanya perubahan bersejarah dan dramatis dalam perilaku konsumen. Ditambah dengan kebijakan pembatasan wilayah (lockdown) di berbagai belahan dunia, turut mengakselerasi kegiatan rutin yang kini lebih banyak dilakukan di rumah, seperti bekerja, belajar, hingga tak terkecuali belanja melalui gawai pintar.
Mayoritas konsumen juga tidak berpikir untuk kembali ke cara belanja konvensional setelah pandemi berakhir atas dasar kenyamanan dan kesehatan. Tidak mengherankan hal ini turut merubah lanskap banyak usaha yang merambah model bisnis Direct-to-Consumer (D2C), salah satunya melalui e-dagang. Bisnis berbasis D2C adalah ketika sebuah jenama menjual produknya ke pengguna secara langsung. Berbeda dengan sistem jual-beli ketika jenama mendistribusikan produk hanya melalui mitra ritel, seperti supermarket atau toko. Tujuan model bisnis D2C adalah untuk membuat perusahaan semakin independen dalam hal komersialisasi produk atau memberikan layanan secara langsung kepada konsumen.
Apa keuntungan yang ditawarkan bisnis D2C?
Model bisnis D2C dirancang untuk memusatkan fokus pada pengguna atau konsumen sehingga akhirnya mampu memberikan pengalaman yang lebih baik. Melansir MJV, salah satu konsultan manajemen teknologi di Brazil, ada tiga keuntungan utama dalam penerapan bisnis D2C.
Pertama, akan ada pengurangan biaya dalam proses distribusi produk. Jika sebelumnya, perusahaan harus menjual produk melalui grosir dan pengecer dengan harga yang lebih murah, maka dengan menghilangkan tahapan ini dan langsung menjualnya ke konsumen, justru akan memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan.
Kedua, D2C memudahkan pebisnis dalam membidik target pasar secara tepat. Melalui strategi digital yang didukung oleh data dan terus diperbaharui, maka akan semakin banyak wawasan yang didapatkan tentang pelanggan. Dengan segmentasi pasar yang lebih mudah terpetakan, pemasaran produk yang ditawarkan pun akan semakin terpersonalisasi. Dengan memiliki sistem distribusi sendiri, sangat mungkin bagi jenama menciptakan indikator kinerja yang tepat untuk tujuan pemasaran dan penjualan.
Bertahan di tengah perkembangan pasar digital
Menurut Schlesinger, Higgins, Roseman (HBR, 2020), pesatnya perkembangan perusahaan rintisan yang bergerak langsung ke konsumen ini awalnya dimungkinkan oleh pemodal ventura yang melimpah, persaingan rendah, serta adanya arbitrase periklanan yang dapat dieksploitasi pada platform media sosial dengan harga relatif rendah.
Namun, saat ini persaingan kian membanjir karena kesuksesan pesat beberapa perusahaan. Akibatnya harga iklan media sosial ikut meningkat, tidak memiliki dasar untuk terus mendapatkan pelanggan dengan nilai yang tepat, dan akhirnya pertumbuhan bisnis melambat. Dengan demikian, harus ada inovasi dan pengembangan baru dari prinsip D2C di masa sebelumnya yang dilakukan oleh para founders. Mari kita pelajari lebih lanjut.
Kuasai ekosistem pasar digital dan target konsumen
Tidaklah cukup bagi bisnis untuk hanya berada di internet. Perlu ada strategi terintegrasi dalam ekosistem digital untuk selalu terhubung dengan konsumen. Perusahaan yang melakukan penjualan melalui pengecer grosir memiliki lebih sedikit kontak dengan konsumen mereka. Sementara, ekosistem digital memberi ruang lebih untuk memahami apa yang dibutuhkan konsumen dan cara apa yang mereka inginkan untuk mendapatkan produknya.
Distribusi omni channel jadi keharusan
Bisnis D2C saat ini perlu menerapkan strategi distribusi omnichannel. Sebagai contoh, dua perusahaan D2C portofolio Skystar Capital, yaitu BASE dan Mooimom telah menerapkan strategi ini. Kedua perusahaan startup ini memulai bisnis dengan menjual langsung produk mereka ke pelanggan melalui situs mereka saja. Namun, kini mereka juga mendistribusikan produk melalui pasar e-niaga (e-commerce marketplace) ternama lainnya. Tentu, tanpa melupakan identitas jenama.
Bangun relasi dengan komunitas
Data yang diperoleh dari pemasaran produk digital dengan model D2C memungkinkan jenama untuk mempersonalisasi kampanye, surel marketing, hingga membangun komunitas. Dengan membangun komunitas, memberi kesempatan bagi konsumen sebagai anggota komunitas berkolaborasi dengan jenama untuk bersama-sama menciptakan nilai lebih dari produk dan layanan yang lebih bermanfaat. Keberhasilan membangun relasi komunitas nantinya akan menjadi kekuatan yang membedakan bisnis D2C masa kini dari pemain lama.
Tangkas hadapi perubahan dan giat berevolusi
Pada masa mendatang, akan banyak tantangan dan perubahan dalam perdagangan. Rantai pasokan, strategi pemasaran, dan sistem jenama yang ada, harus selalu diakselerasi dan dioptimalkan sesuai dengan perkembangan teknologi dan pola konsumsi masyarakat. Perusahaan yang masih belum berpikir visioner terhadap pergeseran platform, pasti akan tertinggal. Maka, bersiaplah.
Istilah D2C memang kian terasa kurang relevan dari hari ke hari. D2C adalah produk dari momen tertentu yang melambungkan segelintir pendatang awal pada masanya. Namun, lingkungan saat ini menunjukkan bahwa model bisnis ini tidak lagi dapat berdiri sendiri. Sukses hari ini membutuhkan kerendahan hati dan sikap mau terus beradaptasi dengan dasar-dasar bisnis di masa mendatang. Ketangkasan beradaptasi adalah kunci keberlangsungan bisnis itu sendiri.
(Penulis: Gabriella Thohir | Associate Skystar Capital | Skystar Capital – Pemodal Ventura – membantu akselerasi bisnis rintisan yang berfokus pada pendanaan awal)