Fintech, tidak seperti banyak sektor lainnya, menghadapi regulasi yang ketat di seluruh dunia, dan Indonesia tidak terkecuali (Tech in Asia, 2024). Di Indonesia, regulasi ini sangat ketat karena komitmen pemerintah untuk menjaga stabilitas keuangan dan melindungi konsumen. Bagi para pendiri fintech, ini berarti mereka harus fokus tidak hanya pada menemukan product-market fit tetapi juga pada navigasi lanskap regulasi yang kompleks yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan yang bertanggung jawab dan mengurangi risiko terhadap sistem keuangan.

Komunal Indonesia, melalui produknya DepositoBPR—marketplace BPR digital pertama di Indonesia—telah berhasil memenuhi tantangan regulasi ini. Perusahaan ini memegang status “direkomendasikan” dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan terdaftar di Kominfo serta asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH).

Didirikan pada tahun 2018 oleh Hendry Lieviant, Kendrick Winoto, dan Rico Tedyono, Komunal telah muncul sebagai kisah sukses dalam menavigasi lanskap regulasi Indonesia. Berbasis di Surabaya, Komunal telah mendukung lebih dari 376 BPR di 24 provinsi, dengan total dana yang difasilitasi mencapai Rp 14,48 triliun (sekitar US$ 934 juta).

Annora Niendy, anggota penting dari tim hukum Komunal, berbagi langkah-langkah penting yang memungkinkan Komunal memenuhi persyaratan regulasi, memberikan wawasan berharga bagi para pendiri fintech lainnya yang berusaha melakukan hal yang sama.

Siapkan Modal yang Cukup dan Bentuk PT (Perseroan Terbatas)

Nora menekankan bahwa pendiri sebaiknya memulai operasi fintech mereka hanya setelah mendapatkan lisensi yang tepat. Beroperasi tanpa lisensi dapat berakibat pada konsekuensi hukum dan finansial yang serius. “Salah satu contohnya adalah masuk daftar hitam oleh OJK. Jika itu terjadi, kepercayaan bisnis dapat sangat terpengaruh dalam jangka panjang,” jelas Nora.

Langkah pertama adalah mendirikan badan hukum, yaitu PT (perseroan terbatas). Di Indonesia, semua perusahaan fintech harus beroperasi sebagai PT agar dapat terdaftar secara resmi sebagai entitas bisnis dan mengajukan lisensi yang diperlukan. Dengan dokumen lengkap, biasanya diperlukan waktu hingga empat minggu untuk mendirikan PT.

Selama proses ini, Nora menyarankan para pendiri untuk memastikan kepatuhan terhadap Anggaran Dasar yang relevan dengan model bisnis mereka. Kepatuhan ini akan menjadi hal penting saat pendaftaran dengan badan regulasi, membantu pendiri memenuhi persyaratan dengan efisien sejak awal.

Sebagai contoh, perusahaan fintech yang beroperasi dengan model pinjaman perlu mematuhi regulasi OJK. Ini mencakup persyaratan tertentu, seperti kepemilikan asing maksimal 85% dan modal minimum Rp25 miliar (sekitar US$ 1,6 juta), sebagaimana ditetapkan oleh POJK No. 10/POJK.05/2022.

Di sisi lain, perusahaan fintech pembayaran mengikuti regulasi dari Bank Indonesia (BI), yang menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 49%. Perusahaan yang menawarkan layanan e-wallet harus memenuhi persyaratan modal disetor minimum sebesar Rp15 miliar (sekitar US$ 1 juta) di bawah PBI No. 23/4/PBI/2021.

 

“OJK dan BI tampaknya memperketat standar regulasi untuk perusahaan fintech baru selama beberapa tahun terakhir, dengan tujuan menjadikan ekosistem keuangan lebih aman dan stabil,” tambah Nora.

Karena persyaratan modal yang tinggi, adalah hal umum bagi pendiri tahap awal untuk mencari pendanaan sebelum meluncurkan bisnis mereka. Hiro Kiga, Co-Founder Wallex (platform pembayaran lintas negara), menyebutkan dalam wawancara terpisah bahwa mereka harus menggalang dana tanpa memiliki produk untuk memenuhi persyaratan lisensi.

Mendaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan)

Setelah mendirikan PT, langkah berikutnya bagi perusahaan fintech adalah mendaftar ke badan pengatur yang sesuai di Indonesia, yaitu OJK atau BI, tergantung pada model bisnisnya. Untuk DepositoBPR milik Komunal, badan pengatur yang relevan adalah OJK, karena beroperasi di bawah kerangka Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang diatur dalam POJK No. 3 tahun 2024 (POJK 3/2024).

Nora menekankan pentingnya persiapan dokumen yang menyeluruh pada tahap ini. Berdasarkan pengalamannya, OJK membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk meninjau dokumen dan memutuskan apakah dokumen tersebut lengkap. Jika ditemukan tidak lengkap, seluruh proses akan diulang, yang dapat menyebabkan penundaan.

Menjaga komunikasi yang konsisten dengan point of contact (PIC) yang ditugaskan di OJK atau BI sangat penting. “Proses review sering kali menjadi tahap di mana komunikasi bolak-balik dimulai,” kata Nora, yang menyoroti bahwa kesalahan interpretasi dapat menyebabkan penundaan yang signifikan. Kontak dekat dengan PIC memastikan proses tetap sesuai jadwal.

Nora juga menyarankan untuk menyelaraskan misi startup fintech dengan tujuan OJK guna meningkatkan peluang persetujuan. Misalnya, jika startup berkontribusi pada inklusi keuangan, hal ini dapat memberikan pertimbangan lebih baik selama proses pendaftaran.

Di bawah kerangka ITSK, inovasi fintech seperti DepositoBPR harus menyelesaikan dua tahap proses:

1. Proses regulatory sandbox

Perusahaan fintech inovatif yang memperkenalkan model bisnis baru harus terlebih dahulu melalui regulatory sandbox OJK. Tahap ini mengevaluasi kelayakan, risiko, dan kepatuhan produk dalam lingkungan yang terkendali. Para pendiri harus memperlihatkan prototipe yang berfungsi untuk dievaluasi oleh regulator.

DepositoBPR milik Komunal perlu mendaftar untuk mengikuti sandbox ini, yang bisa memakan waktu hingga 12 bulan. Selama fase ini, perusahaan fintech yang memenuhi syarat diizinkan beroperasi dalam skala terbatas, misalnya dengan pembatasan pada volume transaksi.

DepositoBPR membutuhkan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan fase ini, sebagian besar karena OJK juga sedang menyusun regulasi baru untuk mengatur model bisnis yang sedang berkembang selama periode ini, yang menambah waktu proses. “Jika startup belum lolos dari proses regulatory sandbox, itu tidak selalu berarti mereka belum siap beroperasi—bisa juga berarti pemerintah masih menyusun regulasi yang mengatur,” jelas Nora.

Setelah DepositoBPR berhasil menyelesaikan fase ini, mereka menerima status “direkomendasikan untuk mengajukan izin penuh di OJK,” yang memberikan mereka jangka waktu enam bulan untuk memulai tahap selanjutnya, yaitu pendaftaran penuh.

2. Terdaftar dan diizinkan oleh OJK

Pada tahap ini, perusahaan fintech secara resmi mendaftar di OJK dengan memenuhi persyaratan regulasi utama. Ini mencakup pengajuan rencana bisnis yang komprehensif yang merinci layanan, operasi platform, langkah-langkah kepatuhan, dan protokol perlindungan data konsumen. Perusahaan juga harus terdaftar sebagai PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Nora mencatat bahwa proses ini bisa memakan waktu hingga 6 bulan. Setelah selesai, DepositoBPR akan dapat beroperasi secara penuh.

Tiap Model Bisnis Memerlukan Lisensi yang Berbeda

Nora menjelaskan bahwa bisnis peer-to-peer (P2P) lending milik Komunal, yang diatur oleh OJK di bawah sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), tidak perlu melalui regulatory sandbox karena model tersebut tidak dianggap inovatif. Namun, layanan P2P lending tetap harus menyelesaikan dua tahap perizinan di OJK: “terdaftar di OJK” dan “diizinkan oleh OJK” yang masing-masing bisa memakan waktu hingga 12 bulan.

Untuk beroperasi secara resmi, perusahaan P2P lending harus terlebih dahulu memperoleh lisensi “terdaftar di OJK”. Setelah itu, mereka diberi waktu satu tahun untuk mengajukan lisensi “diizinkan oleh OJK”. Selama tahap ini, perusahaan harus menunjukkan kepatuhan terhadap standar OJK, seperti stabilitas keuangan, manajemen risiko, dan perlindungan konsumen.

Selain itu, tokoh-tokoh kunci dalam perusahaan, termasuk direktur dan komisaris, diwajibkan lulus “uji kelayakan dan kepatutan” yang mengevaluasi pengalaman, integritas, dan kompetensi mereka dalam mengelola lembaga keuangan secara bertanggung jawab. “Untuk bergerak dari tahap pendaftaran ke persetujuan, Anda harus menunjukkan kepatuhan di luar dasar, termasuk audit, operasi bisnis yang transparan, dan perlindungan konsumen yang tepat,” kata Nora.

Setiap tahap dalam proses ini—sandbox, pendaftaran, persetujuan, dan rekomendasi—berfungsi sebagai jaminan bahwa platform fintech, seperti DepositoBPR milik Komunal, beroperasi secara legal, memenuhi semua standar regulasi, dan berkontribusi positif pada stabilitas keuangan Indonesia.

 

“Meskipun prosesnya bisa panjang, sertifikasi ini sangat penting untuk membangun kepercayaan dengan para pemangku kepentingan dan memastikan perusahaan diakui sebagai entitas yang dapat dipercaya dan patuh,” tambah Nora.

Tips Lain untuk Pendiri Fintech

Nora merekomendasikan para pendiri fintech untuk bergabung dengan asosiasi fintech resmi, seperti AFTECH, yang juga menjadi wadah bagi DepositoBPR. Menjadi anggota asosiasi ini memberikan akses ke pengetahuan dan pengalaman bersama, yang bisa sangat penting selama proses regulasi.

Sebagai contoh, selama fase regulatory sandbox, OJK mungkin tidak langsung memberi tahu semua pendaftar tentang pembaruan regulasi. Sebaliknya, pembaruan ini dibahas dengan asosiasi fintech. Pendiri yang menjadi anggota asosiasi seperti ini memiliki keuntungan untuk selalu terinformasi tentang perubahan-perubahan tersebut.

Selain berbagi pengetahuan, asosiasi-asosiasi ini juga dapat memberikan dukungan formal, termasuk surat rekomendasi untuk memperkuat pendaftaran perusahaan dengan OJK atau Bank Indonesia. “Ini seperti sinyal bahwa perusahaan Anda sah dan layak dipertimbangkan oleh OJK atau BI. Diakui oleh komunitas sering memberi Anda keunggulan,” jelasnya.

“Rekomendasi ini hanya gambaran umum,” kata Nora. “Saya sarankan para pendiri bekerja bersama konsultan, terutama saat proses pendaftaran awal, untuk memastikan semuanya tercakup dengan baik.”

Hiro dari Wallex juga menyarankan untuk bekerja sama dengan firma hukum agar dapat menavigasi lanskap regulasi secara efektif. “Prosesnya lambat, jadi Anda harus berbicara dengan orang yang tepat. Jika Anda tidak mengetuk pintu yang benar sejak hari pertama, semuanya hanya akan memperpanjang waktu,” katanya.

Sebagai tips terakhir, Nora menyarankan pendiri untuk membuat daftar periksa terperinci sejak awal. Daftar ini harus mencakup semua dokumen yang diperlukan, peran, dan anggota tim untuk memastikan setiap aspek proses pendaftaran tercatat. Persiapan yang baik membantu startup menavigasi pendaftaran dengan lebih efektif dan meminimalkan risiko kesalahan umum.

Lanskap fintech di Indonesia dibentuk oleh regulasi yang ketat yang dirancang untuk menjaga keamanan, transparansi, dan stabilitas dalam sistem keuangan. Perusahaan seperti Komunal menunjukkan perjalanan melalui tuntutan regulasi ini, menunjukkan bahwa dengan persiapan dan kepatuhan yang cermat, perusahaan fintech dapat membangun kepercayaan dan kredibilitas. Dengan menetapkan standar pertumbuhan yang bertanggung jawab, Komunal dan perusahaan fintech lainnya berkontribusi pada ekosistem keuangan yang lebih aman, membuka jalan bagi inovasi masa depan di sektor fintech Indonesia.

Di Skystar Capital, kami bangga menjadi yang pertama mendukung para pendiri visioner. Dengan akar lokal yang kuat dan jaringan luas di pasar Indonesia, kami siap mendukung inovator dengan solusi inovatif dan mendorong pertumbuhan Indonesia ke depan. Mari membangun masa depan bersama!

Kirim proposal bisnis Anda di sini. Ikuti akun media sosial kami di LinkedIn, YouTube, dan Instagram untuk tetap terhubung dengan update terbaru!


Glosarium

Beberapa regulasi kunci berdasarkan pengalaman Komunal:

  • Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT No. 40 Tahun 2007): Mengatur praktik korporasi dan kerangka hukum bagi perusahaan yang beroperasi di Indonesia.
  • Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK, POJK 3 Tahun 2024): Meliputi inovasi berbasis teknologi yang memengaruhi produk, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital, berfokus pada area yang tidak langsung diatur oleh OJK atau BI.
  • Industri Keuangan Non-Bank (IKNB, POJK No. 10/POJK.05/2022): Mengatur layanan keuangan non-bank seperti pinjaman P2P di bawah pengawasan OJK, mencakup persyaratan lisensi, regulasi kepemilikan, dan standar kepatuhan untuk perusahaan fintech.

Dibawah Pengawasan OJK:

  • Neo Banking dan Keuangan Digital (POJK 10 Tahun 2023): Mencakup perusahaan fintech non-pembayaran seperti layanan perbankan digital, serta mencakup persyaratan layanan keuangan, termasuk peminjaman, persyaratan modal, dan standar kepatuhan.
  • Pencegahan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU-PPT dan POJK PUPPT): Berfokus pada kepatuhan anti-pencucian uang dan penilaian risiko nasional.

Dibawah Pengawasan BI:

  • Sistem Pembayaran: Produk fintech yang terkait dengan layanan pembayaran diatur oleh BI di bawah PBI 23 Tahun 2021, yang merinci persyaratan hukum untuk sistem pembayaran untuk memastikan transaksi yang aman dan efisien.

Regulasi Lintas Sektor:

  • Perlindungan Data (UUPDP): Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Indonesia mengatur privasi dan keamanan di berbagai sektor, termasuk fintech, yang mengatur bagaimana perusahaan mengumpulkan, menyimpan, dan memproses data pengguna.

Sumber Resmi Pemerintah untuk Referensi: