Menyebarnya berita pemutusan hubungan kerja karyawan oleh beberapa perusahaan rintisan di Indonesia mengakibatkan publik mulai berspekulasi mengenai keberlangsungan industri Startup. Banyak yang beranggapan bahwa rentetan peristiwa pemutusan hubungan kerja adalah akhir dari industri yang baru dimulai satu dekade lalu di Indonesia. 

Namun, mengingat banyaknya jumlah talenta muda yang bekerja di industri ini dan besarnya kontribusi industri digital pada perekonomian Indonesia, sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa peluang industri startup masih cukup besar. Publik memiliki pendapat berbeda mengenai fenomena bubble burst yang saat ini dihadapi oleh startup Indonesia.

Fenomena bubble burst merupakan siklus ekonomi yang ditandai dengan peningkatan dari nilai pasar atau harga aset secara cepat. Inflasi nilai yang signifikan ini kemudian diikuti oleh penurunan nilai secara drastis, yang biasanya diistilahkan dengan market crash. Mengacu pada fenomena yang belakangan terjadi, perusahaan rintisan diasumsikan merupakan objek dari fenomena bubble burst karena nilai perusahaan yang meningkat dalam waktu singkat dan beberapa harus mengalami penurunan nilai yang signifikan. 

Sejarah The Dotcom Bubble

Melansir Forbes, fenomena bubble burst pertama yang mengguncang dunia disebut dengan dotcom bubble. Dinamakan dotcom bubble sebab kejadian ini dipengaruhi oleh kemunculan internet yang merupakan teknologi terbaru pada akhir 90-an. Hal itu lantas membuat para investor berspekulasi jika hadirnya teknologi ini akan diikuti dengan kesuksesan besar. Itu sebabnya, mereka berbondong-bondong untuk berinvestasi pada perusahaan berbasis internet atau perusahaan dotcom (.com).

Saat itu, banyak bursa saham, misalnya Netscape, di negara-negara adidaya naik secara tajam dari segi ekuitas hingga mencapai 58,25 USD. Peristiwa itu juga mendukung tumbuhnya industri berbasis internet dan teknologi. Sayangnya, pertumbuhan itu hanya berlangsung dalam waktu singkat. Perusahaan yang tadinya digadang-gadang sukses besar, justru hilang dalam kurun waktu dua tahun saja. 

Investor pada masa itu dinilai tak teliti menilik risiko dan terbawa market hype. Padahal, konsumen masih belum siap menerima inovasi digital dan infrastruktur pendukung industri digital dinilai masih belum lengkap dibanding saat ini. Akibatnya, perusahaan-perusahaan digital tersebut tidak mampu merealisasikan nilai perusahaan yang sudah mereka proyeksikan. Nilai saham seketika anjlok dan puncaknya ditandai banyak perusahaan dotcom yang gulung tikar.

Startup Bubble Burst di Era Pandemi

Memasuki masa pandemi, tepatnya tahun 2021 hingga 2022 ini, bubble burst kembali terulang, meskipun memang tak semasif era 2000an. Bubble burst mini kali ini disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, tindakan investor yang lebih selektif dalam memberikan pendanaan ke perusahaan rintisan, menyebabkan nilai investasi yang lebih rendah dari tahun sebelumnya. Namun, mayoritas investor masih memiliki keyakinan bahwa industri digital masih akan tetap bertumbuh, didorong oleh katalis seperti pandemi mendorong perkembangan teknologi dan antusiasme konsumen terhadap inovasi digital.

Faktor kedua adalah perusahaan rintisan berusaha mengakomodasi gejolak makro ekonomi yang tidak menentu. Di sisi lain, perusahaan digital umumnya hanya memiliki modal yang terbatas untuk menyerap dinamika makro ekonomi yang berpotensi bisa mengancam keberlangsungan bisnis. Akibatnya, perusahaan menurunkan nilai perusahaannya agar bisa mendapatkan dana tambahan dari investor sebagai upaya untuk menyelamatkan keberlangsungan bisnis.

Faktor terakhir yang sangat berpengaruh adalah The FED (Federal Reserve System) atau bank sentral Amerika Serikat yang menaikkan suku bunga hingga mencapai 1,75 persen. Usaha ini pun membuat cost of capital naik sehingga investor memilih aset yang lebih aman dibandingkan berinvestasi di perusahaan rintisan. Jika berinvestasi, para investor akan lebih memilih startup yang tergolong unicorn karena masa depannya dianggap lebih jelas.

Sikap Tepat dalam Merespons Bubble Burst

Saat terjadi fenomena bubble burst, pemilik bisnis dituntut harus lebih waspada. Hindari membangun bisnis karena terbawa arus. Pebisnis harus lebih dulu memiliki visi, validasi pasar, dan value yang jelas serta mampu dipahami oleh target pasarnya. Fondasi ini juga harus diimbangi dengan kemampuan mengembangkan bisnis dan target yang realistis. 

Sama seperti investor, pemilik bisnis juga harus lebih selektif saat mencari pendanaan. Jika pendanaan dirasa cukup, kelola hal itu dengan baik. Sebab, perusahaan rintisan masa kini sangat terpacu dengan strategi “bakar duit”. Padahal, strategi tersebut sangat bergantung pada pendanaan investor atau pemodal ventura yang menyebabkan keuangan perusahaan sulit seimbang.

Itu sebabnya, pemilik bisnis harus pintar dalam memilih investor atau pemodal ventura. Sesuaikan terlebih dahulu visi misi perusahaan dengan para pemberi dana. Pemodal ventura yang tepat nantinya akan membuka kesempatan untuk membimbing perusahaan hingga mencapai tahap stabil dan mampu menjadi bisnis yang mampu berdiri sendiri.

 

(Penulis: Andreas Dymasius – Principal Skystar Capital | Skystar Capital – Venture Capital – membantu akselerasi bisnis rintisan yang berfokus pada pendanaan awal)