preload
preload

Evaluasi Bisnis EduTech menjadi Solusi Pendidikan Inklusif di Indonesia

Written by: Gabriella ThohirPublished on: 31 Oct 2022
img

Situasi pandemi Covid-19 saat ini menuntut perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Akselerasi adopsi teknologi digital menjadi demikian cepatnya demi menjamin diseminasi pengetahuan yang berkualitas bagi murid didik dan juga mudah dilakukan oleh pengajar. Dalam dunia edukasi, perpaduan antara sumber daya pendukung menghasilkan terciptanya inovasi pendidikan dengan bantuan teknologi (edutech). Hal ini bukan hanya untuk meningkatkan kualitas murid didik, meningkatkan literasi digital pengajar dalam hal aplikasi teknologi, tapi juga mendemokratisasi akses pendidikan menjadi lebih inklusif. Sehingga, harapannya dapat tercipta pendidikan yang berkualitas dengan lebih merata. Tapi, apakah semudah itu penerapannya?

Dunia pendidikan, dalam kondisi pandemi ini diharuskan mengadopsi mode daring untuk keberlangsungan kegiatan belajar mengajar yang lebih aman. Digitalisasi kegiatan belajar mengajar, bukan lagi kemewahan tapi sudah menjadi kebutuhan. Hal ini berpotensi memunculkan revolusi digital yang mengakselerasi sektor pendidikan agar mengadopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence), realitas maya (virtual reality), dan pembelajaran mesin (machine learning) sebagai penunjang kegiatan pembelajar. Salah satunya lewat  EduTech, sehingga diharapkan dapat menjadi normal baru di masa depan.

Perkembangan EduTech di Indonesia

Saat ini, sebagian besar layanan EduTech yang ada di Indonesia menawarkan akses gratis pada puluhan ribu video mengenai berbagai mata pelajaran untuk siswa kelas satu hingga 12, serta menyediakan platform pembelajaran daring interaktif untuk siswa. Jenis layanan yang ditawarkan oleh EduTech juga cukup beragam. Mulai dari e-learning, yang memberikan materi pembelajaran secara daring melalui konten interaktif atau bimbingan daring secara langsung. Materi yang ditawarkan pun beragam, yaitu kursus untuk pelajaran sekolah, kursus bahasa asing, dan kursus mengasah kemampuan pribadi. 

Kemudian layanan EduTech berikutnya adalah Sistem Manajemen Pembelajaran (Learning Management System) yang dibuat untuk membantu institusi merencanakan kegiatan belajar mengajar. Dan berikutnya adalah Software as a Service (SaaS), sebagai aplikasi yang membantu institusi untuk mengelola bisnis mereka secara digital, yaitu terkait administrasi, presensi, hingga tata kelola perpustakaan.

Namun, menurut laporan World Bank (2020) dengan judul EdTech in Indonesia: ready for take-off?, menjelaskan bahwa kurang dari lima persen pengguna platform EduTech di Indonesia bersedia membayar setelah masa uji coba gratis mereka pada platform berakhir. Hal ini menunjukkan rendahnya kesediaan untuk membayar harga sesuai standar secara berulang (berlangganan).

Padahal, menurut Program Penilaian Pelajar Internasional (Program for International Student Assessment, PISA) pada 2018, yang diadakan setiap tiga tahun, Indonesia menempati peringkat ke-72 dari 77 negara dalam  kemampuan matematika, sains, dan membaca  pada pelajar berusia 15 tahun. Studi ini memperkuat anggapan kalau negara ini harus membenahi sistem pendidikannya.

Rangkuman Peringkat PISA (2018)

Meskipun demikian, Indonesia memiliki pasar yang sangat besar dengan lebih dari 50 juta siswa dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Selain itu, profil demografis Indonesia sangat cocok untuk industri pendidikan. Ditambah menurut World Bank. sistem pendidikan Indonesia adalah yang terbesar keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika Serikat.

Rintangan dalam Penerapan EduTech sebagai Solusi Pendidikan

Saat ini, sektor EduTech dalam masa pertumbuhan (infancy), dengan peluang samudra biru (blue ocean opportunity) karena banyaknya rintisan EduTech yang terlibat dalam eksperimen pasar produk yang tinggi. Namun, pasar EduTech di Indonesia juga memiliki kendala yang harus diatasi untuk merebut peluang dan skala pasar. Mari kita bedah satu per satu.

  • Rendahnya kesediaan pelanggan untuk membayar

Pada umumnya di Indonesia, orang tua adalah pengambil keputusan dalam pendanaan untuk kegiatan pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian, target pasar segmen pendidikan dasar, menengah, dan atas yang sebenarnya adalah orang tua, bukan siswa secara langsung. Khususnya di daerah pedesaan di Indonesia, terdapat persepsi bahwa pendidikan digital tidak hanya mahal, tetapi juga tidak terbukti berkorelasi meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Selain itu, meskipun pendidikan adalah wajib dan diberikan gratis di sekolah umum selama 12 tahun oleh pemerintah, penurunan yang signifikan dalam jumlah siswa antara sekolah dasar dan menengah menunjukkan bahwa banyak orang tua masih memandang pendidikan hanya sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan demikian, kendala yang dihadapi perusahaan rintisan EduTech bukan hanya mendidik dan meyakinkan orang tua mengenai solusi yang ditawarkan, tetapi juga mengubah pola pikir secara keseluruhan tentang peran pendidikan.

Jumlah Siswa dan Guru di Indonesia Berdasarkan Jenjang Pendidikan (2017-2018)

 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di atas, segmen pasar pendidikan terbesar di Indonesia, berdasarkan jumlah siswanya, sejauh ini adalah siswa sekolah dasar (SD). Namun, secara historis, segmen pasar dengan daya beli terbesar adalah orang tua siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Hal ini dikarenakan adanya ujian nasional (UN) dan ujian seleksi (SNMPTN/SBMPTN/UTBK) yang dilakukan di tahun akhir sekolah.

Oleh karena itu, mayoritas EduTech juga menargetkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMA dan SMK. Sebab, rintangannya cenderung lebih rendah daripada segmen sekolah dasar dan menengah pertama, dan menciptakan lanskap yang sangat kompetitif. Lebih jauh, dikarenakan ujian akhir dianggap sebagai pemicu utama pengeluaran pendidikan karena tingginya transaksi kepada layanan pendidikan, khususnya kelas persiapan intensif.

  • Kurangnya literasi digital dan motivasi belajar pada pengajar 

Sebagai gambaran, Survei Literasi Digital oleh Kemenkominfo pada 2020 di 34 provinsi, dengan melibatkan 1.670 responden, menunjukkan skor literasi digital Indonesia 3,47 dari total 5. Adapun aspek yang dinilai adalah informasi dan literasi data, komunikasi dan kolaborasi, keamanan, serta kemampuan adaptasi teknologi. Hal tersebut dapat menjadi salah satu latar belakang alasan rendahnya literasi digital di kalangan pengajar di Indonesia. 

Namun, literasi digital dalam konteks pengajar bukan hanya kemampuan menggunakan komputer sebagai media pembelajaran, melainkan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format digital untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembelajaran (Harjono, 2018). Kondisi ini otomatis menuntut pengajar untuk memiliki pemahaman akan pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan belajar-mengajar.

Sebagai gambaran, Ramadhan dan Nasionalita (2020) dalam penelitiannya mengenai tingkat literasi digital pada guru SMP di Kota Bandung, menggunakan tiga dimensi pengukuran instant Digital Competence Assessment (DCA) yaitu Ethical, Cognitive, dan Technical untuk mengukur tingkat literasi digital pengajar. Berdasarkan penelitian, pengajar memiliki skor yang rendah pada dimensi Technical, yaitu ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pemahaman pengajar ketika dihadapkan dengan mengenali dan menyelesaikan masalah pada komputer. Hal ini dikarenakan 53,5% responden lebih memilih menggunakan ponsel pintar dalam mengajar. Faktor lainnya juga ditunjukkan dengan kesenjangan pemahaman digital antara mayoritas pengajar yang berusia 31-40 tahun, dengan siswa SMP 15-19 tahun sebagai akibat dari tingkat pembelajaran mandiri (self learning) pengajar yang relatif lebih rendah dibandingkan siswanya.

Padahal, peran literasi digital pada pengajar sangatlah berpengaruh bagi siswa. Melansir dari penelitian Oktavia dan Hardinata (2021), yang menjelaskan bahwa rendahnya penggunaan teknologi informasi oleh tenaga pendidik dalam pembelajaran akan berakibat pada rendahnya tingkat literasi digital siswa. Terlebih, bagi siswa di luar pulau Jawa yang tidak memiliki akses merata akan teknologi. Sebagai konsekuensi, perusahaan startup EduTech harus memberikan pelatihan intensif mengenai aplikasi teknologi kepada pengajar agar berjalan baik dan terciptanya pendidikan inklusif.

  • Infrastruktur digital yang tidak merata

Sebagian besar EduTech disediakan secara daring, dan diakses melalui situs atau aplikasi ponsel pintar. Maka, tidak mengherankan jika Jakarta dan mayoritas daerah di Pulau Jawa memiliki tingkat penetrasi tertinggi perusahaan Edutech karena ketersediaan infrastruktur digital yang lebih kondusif. Hambatan lainnya juga muncul akibat aksesibilitas yang buruk terhadap koneksi internet untuk pulau-pulau selain Pulau Jawa. Sulitnya akses internet untuk para pelajar yang berada di wilayah rural atau terdepan, tertinggal, terpencil (3T) tersebut mengakibatkan kesenjangan pada akses pendidikan berkualitas.

Dengan begitu, akuisisi pelanggan adalah salah satu masalah yang paling menantang bagi perusahaan EduTech, terutama melalui model B2C yang berpusat pada konsumen. Namun, melalui kemitraan B2B untuk sekolah maupun institusi juga akan memakan biaya yang cukup banyak karena siklus penjualan yang cukup panjang dan seringkali membutuhkan komunikasi langsung dengan pemimpin sekolah, sehingga perlu sumber daya manusia lebih banyak.

Terlepas dari hambatan besar ini, terdapat peluang yang signifikan untuk EduTech dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya adalah pandemi Covid-19, yang telah merevolusi ekosistem pembelajaran di Indonesia. Penerapan protokol kesehatan yang ketat membuat sekolah maupun lembaga pelatihan swasta korporasi turut ditutup. Sehingga menyebabkan peningkatan permintaan untuk layanan seperti Sistem Manajemen Pembelajaran (Learning Management System), saluran pengajaran langsung, materi pembelajaran berbasis video, bahkan audio (podcast) karena siswa sekarang bergantung pada pembelajaran daring. 

Untuk memfasilitasi perubahan ini, Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud) telah mengumumkan kemitraannya dengan perusahaan EduTech, baik secara gratis atau bersubsidi, melalui Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yang didedikasikan untuk memberikan bantuan operasional bagi lembaga pendidikan. Beberapa EduTech juga telah mengambil inisiatif untuk menawarkan program pelatihan daring bagi pengajar guna membantu mereka mengelola kelas virtual dengan pengalaman lebih baik.

Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ketimpangan akses internet dan infrastruktur pendukung di Indonesia merupakan masalah signifikan yang membatasi penetrasi EduTech. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbud telah memberikan paket internet gratis melalui Bantuan Kuota Internet yang khusus untuk pembelajaran daring, selain juga melakukan reformasi regulasi untuk memungkinkan sekolah membayar akses internet melalui Dana BOS yang diberikan. Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menjalankan proyek yang dikenal sebagai “Palapa Ring”, dengan membangun Base Transceiver Stations (BTS) di seluruh pulau menggunakan serat optik dan teknologi satelit untuk membangun infrastruktur digital yang merata.

Dengan keadaan ini, seluruh pemangku kepentingan pendidikan diharapkan dapat menggunakan EduTech sebagai solusi yang berorientasi lebih permanen. Meskipun diragukan bahwa pendidikan daring akan menjadi solusi sepenuhnya dalam menggantikan ruang kelas luring, sistem pembelajaran kombinasi (hybrid) dapat menjadi solusi. Sistem daring hybrid akan mengombinasikan pemberian materi ajar digital dengan pertemuan tatap muka melalui kurikulum terintegrasi seperti praktik di negara-negara tetangga, yakni Cina dan India. 

Saat ini, kurang dari 20 persen perusahaan EduTech menawarkan solusi hybrid, dan banyak sekolah bahkan belum mempertimbangkan untuk mengadopsi kurikulum hybrid. Dengan seiring meningkatnya pemanfaatan pengajaran berbasis data bagi sekolah untuk memberikan pembelajaran yang dipersonalisasi, dapat diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah seiring waktu. Oleh karena industri EduTech berpotensi besar menjadi salah satu sektor yang berkembang pesat di tahun-tahun mendatang. Demokratisasi akses pendidikan menjadi visi yang semakin dekat untuk dicapai! 

(Penulis: Gabriella Thohir | Associate Skystar Capital | Skystar Capital – Pemodal Ventura – membantu akselerasi bisnis rintisan yang berfokus pada pendanaan awal)